Hukum Mubtadi’ (حكم المبتدع)


Oleh : Fadlilatusy-Syaikh Prof. Dr. ‘Ali bin Muhammad Naashir Al-Faqihiy hafidhahullah.

Mubtadi’ (ahli bid’ah) adalah orang yang mengada-adakan bid’ah, mengajak kepadanya, dan mencintai serta bermusuhan berdasarkan kebid’ahannya itu.

Bid’ah ada yang menyebabkan pelakunya kafir dan ada pula yang tidak menyebabkan pelakunya kafir. Sesungguhnya menghukumi seseorang yang telah tetap keislamannya dengan kefasikan atau sebagai mubtadi’ (ahli bid’ah) atau kafir, merupakan perkara yang syari’at menyuruh kita untuk berhati-hati dengannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

من قال لأخيه : يا كافر، إن لم يكن كذلك ، وإلا رجعت عليه

Barangsiapa yang berkata kepada saudaranya : ‘Wahai kafir !’ ; dan ternyata bila saudaranya itu bukan seperti yang dikatakannya, maka ucapannya itu akan kembali kepadanya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 111].

Oleh karena itu, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

ليس لأحد أن يكفر أحدا من المسلمين وإن خطأ وغلط حتى تقام عليه الحجة ، وتبين له المحجة، ومن ثبت إسلامه بيقين ، لم يزل ذلك عنه بالشك ، بل لا يزول إلا بعد إقامة الحجة وإزالة الشبهة

“Dan tidak boleh bagi seorangpun untuk mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah – sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan alasan.[1] Barangsiapa yang telah tetap ke-Islam-an padanya dengan yakin, maka tidaklah hilang darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmu’ Al-Fataawaa, 12/466].

Adapun bagi orang yang keluar dari petunjuk (al-huda) dan agama yang benar (ad-diinul-haq), serta mengerjakan perkara-perkara yang menyimpang dari syari’at; maka ia dapat dihukumi dengan hukum lain sesuai penyimpangan yang ia lakukan. Bisa jadi ia dihukumi dengan kekafiran yang jelas, ataupun dihukumi munafik.

Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata mengenai orang-orang yang seperti itu :

إن من كان خارجا عن الهدى ودين الحق من المتنسكة، والمتفقهه ، والمتعبدة، والمتزهدة، والمتكلمة، والأطباء وغيرهم، فمن خرج من هؤلاء عن الحق الذي بعث به رسوله، لايقر بجميع ماأخبر الله به على لسان رسوله، ولايحرم ماحرم الله ورسوله .... مثل – من يعتقد أن شيخه يرزقه ، أو ينصره، أو يهديه، أو يغيثه، أو يعينه، أو كان يعبد شيخه، أو كان يفضله على النبي – صلى الله عليه وسلم- تفضيلا مطلقا ، أو مقيدا في شىء من الفضل الذي يقرب إلى الله ، أو أنه مستغن هو وشيخه عن متابعة الرسول.......

فكل هؤلاء كفارُ إن أظهروا ذلك ، ومنافقون إن لم يظهروه

“Sesungguhnya barangsiapa yang keluar dari petunjuk (al-huda) dan agama yang benar (ad-diinul-haq) dari kalangan al-mutanasikah, al-mutafaqqihah (orang-orang yang faqih), al-muta’abbidah (ahli ibadah), al-mutazahhidah (orang-orang zuhud) , al-mutakallimah, al-athbaa’, dan yang lainnya; barangsiapa dari mereka keluar dari kebenaran yang dibawa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak meyakini segala apa yang dikhabarkan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya, dan tidak mengharamkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya….. Seperti : meyakini bahwa syaikhnya yang memberi rizki, yang menolong, memberi petunjuk, melepaskan diri dari bahaya, membantunya, beribadah kepada syaikh-nya, menganggap syaikhnya lebih mulia dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara mutlak atau pada perkara-perkara tertentu yang mendekatkan diri kepada Allah, ataupun ia dan syaikhnya merasa tidak perlu ber-ittba’ kepada Rasul shallallaahu ‘alaihi wa sallam…… Mereka semua adalah kafir jika menampakkannya, dan munafiq jika menyembunyikannya….”.

Kemudian beliau (Syaikhul-Islam) menyebutkan bahwa banyaknya jenis dari mereka dikarenakan sedikitnya para da’i yang mengajak pada ilmu dan keimanan. Lalu beliau berpindah pada penyebutan jenis kedua dari mubtadi’ (ahli bid’ah), yaitu mereka yang membutuhkan penelitian dalam mengeluarkan hukum bagi mereka, karena kekafiran bisa terjadi pasa amalan ataupun keyakinan (i’tiqad). Dan masing-masing ada hukumnya tersendiri dalam syari’at. Beliau berkata :

وأصل ذلك – أن النقالة التي كفر بالكتاب والسنة ، والإجماع ، يقال: هي كفر ، قولا يطلق ،كما دل ذلك الدلائل الشرعية، فإن الإيمان من الأحكام المتلقاة عن الله ورسوله، ليس ذلك مما يحكم فيه الناس بظنونهم وأهوائهم

“Pada dasarnya dalam permasalahan tersebut – yaitu ucapan kufur kepada Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ yang dengan itu dikatakan : ‘ia termasuk kekufuran’ ; adalah perkataan yang bersifat mutlak; sebagaimana hal itu telah ditunjukkan oleh dalil-dalil syari’at. Sesungguhnya ‘keimanan’ termasuk hukum-hukum yang datang dari Allah dan Rasul-Nya. Bukan sesuatu yang dihukumi manusia berdasarkan dugaan dan hawa nafsu[2]”.

Beliau melanjutkan :

ولايجب أن يحكم في كل شخص قال ذلك ، بأنه كافر حتى يثبت في حقه شروط التكفير وتنتفي موانعه مثل من قال‏:‏ إن الخمر أو الربا حلال؛ لقرب عهده بالإسلام، أو لنشوئه في بادية بعيدة

“Dan tidak wajib untuk menghukumi setiap orang yang mengucapkan ucapan tersebut bahwa ia telah kafir, sampai bisa dipastikan pada orang tersebut terpenuhinya syarat-syarat pengkafiran dan tidak ada penghalangnya. Seperti misal orang yang berkata : ‘Sesungguhnya khamr atau riba itu halal’ – dikarenakan ia baru saja masuk Islam atau ia tumbuh/hidup di suatu negeri yang jauh dari Islam[3]”.

[Majmu’ Al-Fataawaa, 3/354, 10/329].

Dan telah dijelaskan pembicaraan tentang hukum bagi mubtadi’ (ahli bid’ah), dan diterangkan bahwa sesungguhnya harus ditegakkan hujjah dan dihilangkan syubhat-syubhat yang mempengaruhinya. Kemudian beliau (Syaikhul-Islam) menyebutkan bahwa termasuk bid’ahnya perkataan : Al-Qur’an adalah makhluk, dan beliau juga menyebutkan apa yang terjadi pada Al-Imam Ahmad bin Hanbal dengan Al-Ma’muun dan Al-Mu’tashim. Al-Imam Ahmad memberikan ‘udzur kepada keduanya karena adanya syubhat pada keduanya. Beliau (Al-Imam Ahmad) mendoakan kebaikan kepada keduanya. Jika saja beliau meyakini kekafiran keduanya, niscaya beliau tidak akan mendoakannya [lihat Majmu’ Al-Fataawaa, 12/466].

Telah berkata Asy-Syaikh Haafidh Al-Hakamiy dalam kitabnya Ma’aarijul-Qabuul (2/503-504) :

ثم البدع بحسب إخلالها بالدين قسمان:

* مكفرة لمنتحلها.

* وغير مكفرة.

فضابط البدعة المكفرة : من أنكر أمرا مجمعا عليه ، متواترا من الشرع ، معلوما من الدين بالضرورة ، من جحود مفروض ، أو فرض مالم بفرض ، أو إحلال محرم ، أو تحريم حلال ،أو اعتقاد ماينزه الله ورسوله وكاتبه عنه...

والبدعة غير المكفرة: هي مالم يلزم منه تكذيب بالكتاب ، ولابشىء مما أرسل به، ثم مثل لذلك فقال: مثل بدع المروانية، أي – بدع حكام الدولة من بني مروان التي أنكرها عليهم فضلاء الصحابة ، ولم يقروهم عليها- ومع ذلك لم يكفروهم بشىء منها، ولم ينزعوا يدا من بيعتهم لأجلها، كتأخير بعض الصوات عن وقتها ، وتقديمهم الخطبة قبل صلاة العيد...

“Kemudian bid’ah sesuai dengan pengrusakannya terhadap agama dibagi menjadi dua :

a. Mengkafirkan pelakunya

b. Tidak mengkafirkan pelakunya.

Batasan bid’ah yang mengkafirkan pelakunya adalah bila seseorang mengingkari perkara-perkara yang telah disepakati, mutawatir dalam syari’at, diketahui secara pasti termasuk bagian dari agama, mengingkari kewajiban atau mewajibabkan perkara yang tidak wajib, menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, atau meyakini sesuatu yang telah dibersihkan oleh Allah dan Rasul-Nya serta kitab-Nya.

Sedangkan bid’ah yang tidak mengkafirkan pelakunya adalah bid’ah yang tidak menjadikan seseorang mendustakan Kitab atau sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Seperti bid’ah Marwaniyyah, yaitu bid’ah-bid’ah yang diada-adakan oleh pemerintah Bani Marwan yang diingkari oleh tokoh-tokoh shahabat. Meskipun demikian, para shahabat tidak mengkafirkan mereka dengan sebab bid’ah tersebut, dan juga tidak mencabut bai’at dari mereka akibat bid’ah tadi. Misalnya : bid’ah mengakhirkan waktu shalat dan mendahulukan khutbah sebelum shalat ‘Ied”.

[selesai].

[Dari buku Al-Bid’ah – Dlawaabithuhaa wa Atsaruhaa As-Sayyi’u fil-Ummah karya Asy-Syaikh Prof. Dr. ‘Ali bin Muhammad Naashir Al-Faqihiy; dengan penambahan beberapa catatan kaki oleh Abu Al-Jauzaa’].



[1] Dalilnya adalah firman Allah ta’ala :

وَمَا كَانَ اللّهُ لِيُضِلّ قَوْماً بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتّىَ يُبَيّنَ لَهُم مّا يَتّقُونَ إِنّ اللّهَ بِكُلّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [QS. At-Taubah : 115].

كُلّمَا أُلْقِيَ فِيهَا فَوْجٌ سَأَلَهُمْ خَزَنَتُهَآ أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَذِيرٌ * قَالُواْ بَلَىَ قَدْ جَآءَنَا نَذِيرٌ فَكَذّبْنَا وَقُلْنَا مَا نَزّلَ اللّهُ مِن شَيْءٍ إِنْ أَنتُمْ إِلاّ فِي ضَلاَلٍ كَبِيرٍ

Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka: "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?". Mereka menjawab: "Benar ada", sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, maka kami mendustakan(nya) dan kami katakan: "Allah tidak menurunkan sesuatupun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar." [QS. Al-Mulk : 8-9]. – Abu Al-Jauzaa’.

[2] Takfir (pengkafiran) adalah hukum syar’i dan merupakan hak murni milik Allah ta’ala, tidak dimiliki oleh individu atau kelompok tertentu. Konsekuensi dari kaidah ini adalah seseorang tidaklah dikafirkan kecuali yang memang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Syaikhul-Islam rahimahullah berkata :

وهذا بخلاف ما كان يقوله بعض الناس كأبي إسحاق الإسفراييني ومن اتبعه يقولون لا نكفر إلا من يكفر فإن الكفر ليس حقا لهم بل هو حق لله وليس للإنسان أن يكذب على من يكذب عليه ولا يفعل الفاحشة بأهل من فعل الفاحشة بأهله بل ولو استكرهه رجل على اللواطة لم يكن له أن يستكرهه على ذلك ولو قتله بتجريع خمر أو تلوط به لم يجز قتله بمثل ذلك لأن هذا حرام لحق الله تعالى ولو سب النصارى نبينا لم يكن لنا أن نسبح المسيح والرافضة إذا كفروا أبا بكر وعمر فليس لنا أن نكفر عليا

“Hal ini bertentangan dengan pekataan sebagian orang seperti Abu Ishaq Al-Isfirayini serta orang yang mengikuti pendapatnya, mereka mengatakan : Kami tidak mengkafirkan kecuali orang-orang mengkafirkan (kami). (Perkataan ini salah), karena takfir itu bukanlah hak mereka tapi hak Allah. Seseorang tidak boleh berdusta kepada orang yang pernah berdusta atas namanya. Tidak boleh pula ia berbuat keji (zina) dengan istri seseorang yang pernah menzinahi istrinya. Bahkan kalau ada orang yang memaksanya untuk melakukan liwath (homo sex), tidak boleh baginya untuk membalas dengan memaksanya untuk melakukan perbuatan yang sama, karena hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak Allah. Seandainya orang Nashrani mencela Nabi kita, kita tidak boleh mencela Al-Masih (‘Isa ‘alaihis-salaam). Demikian pula seandainya orang-orang Rafidlah mengkafirkan Abu Bakar dan ‘Umar, tidak boleh bagi kita untuk mengkafirkan ‘Ali radliyallaahu ‘anhum ajma’iin” [Minhajus-Sunnah 5/244].

Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata dalam Qashidah Nuniyyah-nya :

الكفر حق الله ثم رسوله*** بالنص يثبت لا بقول فلان

من كان رب العالمين وعبده*** قد كفراه فذاك ذو الكفران

“Kekafiran itu adalah hak Allah dan Rasul-Nya --- dengan nash yang tetap bukan dengan perkataan si Fulan

Barangsiapa yang Allah dan Rasul-Nya ---- telah mengkafirkannya maka dialah orang kafir” [Qashidah Nuniyyah 2/53 – Maktabah Al-Misykah].

Al-Qaraafi berkata : “Untuk memastikan suatu perkara itu sebagai satu kekafiran, bukan sesuatu perkara yang dapat dinalar oleh akal. Akan tetapi ia termasuk yang diputuskan oleh syari’at. Apabila syari’at menyatakan satu perkara itu merupakan kekufuran, maka ia adalah kekufuran, baik berupa berita atau perintah” [Tahdziibul-Furuuq 4/158]. – Abu Al-Jauzaa’.

[3] Di bagian lain kitab yang sama, beliau menjelaskan lebih lanjut :

وكثير من الناس قد ينشأ في الأمكنة والأزمنة الذي يندرس فيها كثير من علوم النبوات، حتى لا يبقى من يبلغ ما بعث الله به رسوله من الكتاب والحكمة، فلا يعلم كثيرًا مما يبعث الله به رسوله ولا يكون هناك من يبلغه ذلك، ومثل هذا لا يكفر، ولهذا اتفق الأئمة على أن من نشأ ببادية بعيدة عن أهل العلم والإيمان، وكان حديث العهد بالإسلام، فأنكر شيئًا من هذه الأحكام الظاهرة المتواترة فإنه لا يحكم بكفره حتى يعرف ما جاء به الرسول،

“Banyak diantara manusia yang hidup di tempat dan jaman yang telah banyak terhapusnya ilmu-ilmu kenabian, hingga tidak tersisa lagi orang yang menyampaikan apa-apa yang oleh karenanya Allah mengutus Rasul-Nya berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga banyak yang tidak mengetahui apa-apa yang menyebabkan Allah mengutus Rasul-Nya dan tidak ada yang menyampaikan hal tersebut. Hal yang seperti ini tidak menjadikan dia kafir. Oleh karena itu para imam telah sepakat bahwa barangsiapa yang hidup di tempat terpencil yang jauh dari ahli ilmu dan iman, atau dia baru masuk Islam, kemudian ia mengingkari sesuatu dari hukum-hukum yang telah jelas mutawatir; maka ia tidak dihukumi kafir sampai ia mengetahui (dan memahami) apa-apa yang dibawa oleh Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam (berupa ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah)” [Majmu’ Al-Fataawaa, 11/407].

وهؤلاء الأجناس، وإن كانوا قد كثروا في هذا الزمان، فلقلة دعاة العلم والإيمان، وفتور آثار الرسالة في أكثر البلدان، وأكثر هؤلاء ليس عندهم من آثار الرسالة وميراث النبوة ما يعرفون به الهدى، وكثير منهم لم يبلغهم ذلك‏.‏ وفي أوقات الفترات، وأمكنة الفترات‏:‏ يثاب الرجل على ما معه من الإيمان القليل، ويغفر اللّه فيه لمن لم تقم الحجة عليه ما لا يغفر به لمن قامت الحجة عليه، كما في الحديث المعروف‏:‏ ‏(‏ يأتي على الناس زمان لا يعرفون فيه صلاة، ولا صيامًا، ولا حجًا، ولا عمرة، إلا الشيخ الكبير، والعجوز الكبيرة‏.‏ ويقولون‏:‏ أدركنا آباءنا وهم يقولون‏:‏ لا إله إلا الله فقيل لحذيفة بن اليمان‏:‏ ما تغني عنهم لا إله إلا اللّه‏؟‏ فقال‏:‏ تنجيهم من النار‏)‏ ‏.

“Orang-orang yang seperti ini telah menjadi mayoritas pada jaman sekarang. Pada saat itu terdapat sedikit da’i yang menyeru kepada ilmu dan iman, tenggelamnya peninggalan risalah kenabian di kebanyakan negeri, dimana kebanyakan dari mereka tidak memiliki warisan kenabian yang yang bisa mengenalkan mereka kepada petunjuk, serta mayoritas dari mereka tidak sampai kepadanya hal ini. Pada waktu dan tempat fatrah (kekosongan penyampaian risalah), seseorang diberi pahala atas keimanannya yang sedikit dan Allah mengampuni bagi yang belum tegak kepadanya hujah yang tentu berbeda keadaannya dengan orang yang telah sampai kepadanya hujjah. Hal adalah sesuai dengan hadits : "Akan datang kepada manusia satu jaman yang mana mereka tidak mengenal apa itu shalat, apa itu puasa, apa itu haji, dan apa itu ‘umrah. Kecuali orang yang telah sangat tua diantara mereka mengatakan : ‘Kami mendapatkan bapak-bapak kami mengatakan Laa ilaaha illallaah’. Maka dikatakan kepada Hudzaifah : Apa manfaat Laa ilaaha illallaah ?. Hudzaifah berkata : (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab :) "Kalimat tersebut akan menyelamatkan mereka dari api neraka" [Majmu’ Al-Fataawaa, 35/165-166]. – Abul-Jauzaa’.

Comments